Skip to main content

Cara Paling Indah untuk Binasa

Rasa tersiksa kian mengikat diri
terbelenggu dalam rengkuhan yang kelam.
Cahaya pun enggan menatapku lagi,
menyisakan bayang yang menjerit dalam diam.

Hatiku—reruntuhan dari janji yang hancur,
menyimpan abu dari cinta yang terbakar.
Langkahku terseret di jalan retak,
di mana harapan hanya gema tanpa arah.

Aku tersenyum pada luka yang tak sembuh,
menyambut sepi seperti sahabat lama.
Sebab di balik setiap tangis yang rapuh,
ada kenangan yang tak rela padam di dada.

Dan kini, aku tak lagi mencari arti,
sebab arti pun telah mati di matamu.
Segalanya menjadi sunyi yang abadi,
tempat aku dan bayangmu melebur tanpa waktu.

Cinta ini bukan lagi doa—melainkan kutuk,
yang menahan rohku di antara hidup dan lenyap.
Jika surga adalah lupa,
biarlah aku tinggal di neraka kenanganmu.

Aku bukan lagi aku,
hanya sisa dari nama yang pernah kau sebut dengan lembut.
Dan setiap hembus napas yang tersisa,
adalah peringatan bahwa mencintaimu
adalah cara paling indah untuk binasa.

Comments

Popular posts from this blog

Keripik Bayam

          Dinginnya rembulan kian tergantikan dengan hangatnya mentari. Raja siang mulai   menampakkan wajahnya, tak satupun yang ada di dunia ini mampu menandingi keperkasaannya. Bau seperti belerang masih tercium di sana-sini. Tanah panas, yang tak diguyur hujan berhari-hari, kini mulai dingin kembali. Karena sang hujan bersedia mampir di desaku walau hanya sejenak. Namun cukup membuat kerisauan dalam hati mereda. Jangankan untuk mengairi sawah dan ladang, untuk mandi dan cuci saja kami masih kerepotan. Air yang tak seberapa, kami cukupkan untuk bertahan hidup. Kadang kala kami harus membeli hanya untuk membasahi kerongkongan yang kian mengering. Walau hanya sekali dalam sehari, kami cukupkan untuk mandi. Kesehatan dan kebersihan tetap menjadi prioritas. Tuhan selalu tahu kerisauan hamba-hamba-Nya. Sumur yang dibangun tiga tahun lalu secara swadaya, menjadi urat nadi di desaku saat musim kemarau tiba. Sungguh keberkahan bagi desa, karena air dala...

Doa Sebilah Pisau Dapur

            Aku hanya bisa diam melihat dan menerima perlakuan mereka. Mereka yang terus menunjukku dengan telunjuk mereka. Memandang dengan tatapan marah. Seolah apa yang telah kuperbuat adalah luar biasa fatal. Menghakimiku atas apa yang terjadi. Padahal, aku melakukannya juga bukan atas kehendakku. “Kau sungguh kejam! Bagaimana kau bisa melakukan hal itu pada seorang kakek yang tidak berdosa?” kata salah seorang yang melihat. “Benar! Tidak adakah sedikit nurani dalam hatimu?” tambah yang lain. “Sudah! Harap tenang semua!” kata hakim ketua. “Tidakkah kau merasa bersalah atas apa yang telah kau lakukan?” “Katakanlah sesuatu, barangkali itu bisa meringankan hukumanmu!” tambah hakim ketua. Aku terus diam. Karena aku tahu, apapun yang keluar dari mulutku hanya dianggap lelucon oleh mereka. Aku hanya dijadikan alat untuk merenggut nyawa orang lain secara paksa. Namun, setelah semua itu terbongkar, mereka melimpahkan semua kesalahannya padaku. ...

Catatan Kecil : Goresan Asa

#1 Jeritan yang tak pernah terdengar Menggema kian lantang Melantunkan letupan setiap luka Berusaha menyembunyikan dirinya sendiri? Namun luka itupun tak kunjung mengering Karena luka lama kian bertambah parah Ditumpuk oleh luka baru Naas   #2 Yang dianggap akhir tak melulu benar menjadi akhir Terkadang perspektiflah yang membuat suatu kekeliran Mungkin itu hanya penjelmaan awal dalam rupa akhir   #3 Tatkala menghadap refleksi di hadapan Kulihat sosok yang sama Tetapi sangat jarang ketemui Saat kutanya siapa Dia Dia malah mempertanyakan hal yang sama Lalu, Mana yang nyata Dia atau Aku? Tangan melambai, Dia mengikuti Kaki melangkah, Dia mengikuti Setiap pergerakanku, Dia mengikuti Kutatap lekat netranya Sama Satu kata yang terlintas dalam benakku #4 Bukan Putih atau Hitam Abu lebih memilih untuk berdiri sendiri Hal ini bukan tentang keegoisan ataupun ketidak percayadirian sebab tak mampu memutuskan kepada siapa Ia berp...