Skip to main content

Catatan Kecil : Goresan Asa


#1

Jeritan yang tak pernah terdengar

Menggema kian lantang

Melantunkan letupan setiap luka

Berusaha menyembunyikan dirinya sendiri?

Namun luka itupun tak kunjung mengering

Karena luka lama kian bertambah parah

Ditumpuk oleh luka baru

Naas

 

#2

Yang dianggap akhir tak melulu benar menjadi akhir

Terkadang perspektiflah yang membuat suatu kekeliran

Mungkin itu hanya penjelmaan awal dalam rupa akhir

 

#3

Tatkala menghadap refleksi di hadapan

Kulihat sosok yang sama

Tetapi sangat jarang ketemui

Saat kutanya siapa Dia

Dia malah mempertanyakan hal yang sama

Lalu,

Mana yang nyata

Dia atau Aku?

Tangan melambai, Dia mengikuti

Kaki melangkah, Dia mengikuti

Setiap pergerakanku, Dia mengikuti

Kutatap lekat netranya

Sama

Satu kata yang terlintas dalam benakku


#4

Bukan Putih atau Hitam

Abu lebih memilih untuk berdiri sendiri

Hal ini bukan tentang keegoisan ataupun ketidak percayadirian

sebab tak mampu memutuskan kepada siapa Ia berpihak

Ia memutuskan tersebut semata agar Abu dapat berdiri di antara Putih dan Hitam

Bukan untuk menjadi pembeda yang memisahkan

Melainkan menjadi penghubung yang menyatukan

Tidak memihak kepada siapapun


#5

Jangan pernah mengharapkan apapun pada malam

Karena malam hanya bisa menerbitkan impresi lawas

Meruyup tanpa permisi

Bagai kaset memutarkan rentetan film lama yang bahkan telah abai

Mengantarkanmu hingga delusi berangkai


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Keripik Bayam

          Dinginnya rembulan kian tergantikan dengan hangatnya mentari. Raja siang mulai   menampakkan wajahnya, tak satupun yang ada di dunia ini mampu menandingi keperkasaannya. Bau seperti belerang masih tercium di sana-sini. Tanah panas, yang tak diguyur hujan berhari-hari, kini mulai dingin kembali. Karena sang hujan bersedia mampir di desaku walau hanya sejenak. Namun cukup membuat kerisauan dalam hati mereda. Jangankan untuk mengairi sawah dan ladang, untuk mandi dan cuci saja kami masih kerepotan. Air yang tak seberapa, kami cukupkan untuk bertahan hidup. Kadang kala kami harus membeli hanya untuk membasahi kerongkongan yang kian mengering. Walau hanya sekali dalam sehari, kami cukupkan untuk mandi. Kesehatan dan kebersihan tetap menjadi prioritas. Tuhan selalu tahu kerisauan hamba-hamba-Nya. Sumur yang dibangun tiga tahun lalu secara swadaya, menjadi urat nadi di desaku saat musim kemarau tiba. Sungguh keberkahan bagi desa, karena air dala...

Doa Sebilah Pisau Dapur

            Aku hanya bisa diam melihat dan menerima perlakuan mereka. Mereka yang terus menunjukku dengan telunjuk mereka. Memandang dengan tatapan marah. Seolah apa yang telah kuperbuat adalah luar biasa fatal. Menghakimiku atas apa yang terjadi. Padahal, aku melakukannya juga bukan atas kehendakku. “Kau sungguh kejam! Bagaimana kau bisa melakukan hal itu pada seorang kakek yang tidak berdosa?” kata salah seorang yang melihat. “Benar! Tidak adakah sedikit nurani dalam hatimu?” tambah yang lain. “Sudah! Harap tenang semua!” kata hakim ketua. “Tidakkah kau merasa bersalah atas apa yang telah kau lakukan?” “Katakanlah sesuatu, barangkali itu bisa meringankan hukumanmu!” tambah hakim ketua. Aku terus diam. Karena aku tahu, apapun yang keluar dari mulutku hanya dianggap lelucon oleh mereka. Aku hanya dijadikan alat untuk merenggut nyawa orang lain secara paksa. Namun, setelah semua itu terbongkar, mereka melimpahkan semua kesalahannya padaku. ...