Aku hanya bisa diam melihat dan menerima
perlakuan mereka. Mereka yang terus menunjukku dengan telunjuk mereka.
Memandang dengan tatapan marah. Seolah apa yang telah kuperbuat adalah luar
biasa fatal. Menghakimiku atas apa yang terjadi. Padahal, aku melakukannya juga
bukan atas kehendakku.
“Kau sungguh kejam! Bagaimana kau bisa
melakukan hal itu pada seorang kakek yang tidak berdosa?” kata salah seorang
yang melihat.
“Benar! Tidak adakah sedikit nurani
dalam hatimu?” tambah yang lain.
“Sudah! Harap tenang semua!” kata hakim
ketua.
“Tidakkah kau merasa bersalah atas apa
yang telah kau lakukan?”
“Katakanlah sesuatu, barangkali itu bisa
meringankan hukumanmu!” tambah hakim ketua.
Aku terus diam. Karena
aku tahu, apapun yang keluar dari mulutku hanya dianggap lelucon oleh mereka.
Aku hanya dijadikan alat untuk merenggut nyawa orang lain secara paksa. Namun,
setelah semua itu terbongkar, mereka melimpahkan semua kesalahannya padaku. Masih
lekat diingatanku. Bagaimana mereka menjadikanku alat dan menghujaninya
menggunakanku. Aku menancap tepat di jantungnya. Darah hangat memancar keluar
melumuriku. Begitu dekat, aku dengan jelas melihat kesediahan, kemarahan, dan
dendam dalam sorot matanya dalam waktu
yang bersamaan.
Aku tak tahu dia dendam
terhadapku atau terhadap setan-setan yang memperalatku. Aku sadar, aku tak bisa
melakukan apapun saat hal itu terjadi. Aku hanya bisa pasrah, merapalkan doa
demi doa semoga Tuhan menunjukan keadilan terhadapku. Entah kapan Tuhan akan
membongkar kejahatan mereka, aku hanya bisa menunggu. Aku adalah satu dari
seribu korban lainnya. Terperangkap
dalam ruangan gelap dan sempit, yahh dimana lagi jika bukan diasingkan dalam
peti usang tua yang entah berapa usianya. Tergeletak dengan tumpukan pisau tua
yang telah karatan dan tak mungkin dipakai lagi. Dilupakan dan tak diharapkan
lagi. Aku memang tak begitu penting bagi mereka. Mereka merawatku saat mereka
membutuhkanku, tetapi saat aku melakukan sedikit kesalahan tak butuh waktu lama
bagi mereka untuk memusnahkanku. Begitu tragis nasib diriku ini.
Aku menatap
langit-langit yang hanya terlihat kegelapan di sana. Hening. Tak seorang pun
membuka pembicaraan. Padahal, bisa dibilang, ruangan penuh sesak bercampur bau
anyir tak terbantahkan. Mereka kalut dalam sesal dan kesedihan yang
menyesakkan.
“Apakah kau tak merasakan hal yang sama,
seperti mereka? Merasa terbuang dan dikucilkan?”
Aku menyisiri setiap sudut gelap itu
dengan pandangan yang sedikit buram, mencari dari mana asalnya suara itu.
“Hei! Siapa yang berbicara itu? Cepat! Tampakkan
dirimu!
Walau aku tak bisa melihat semua orang
dengan jelas, tetapi aku tahu semua orang dalam ruangan itu tengah menatapku.
Namun, tak sepatahkatapun terucap dari mulut mereka. Semuanya bungkam.
“Percuma kau meneriakiku untuk keluar,
walau sampai pita suaramu terputus. Aku tak akan pernah terlihat olehmu dan
mereka. Mereka pun tak bisa mendengar aku.”
“Lalu dimana kau? Mengapa hanya Aku yang
bisa mendengarmu?” tanyaku.
“Tak usahlah kau mengetahui
keberadaanku, lagipula untuk apa? Apa pentingnya untukmu.”
“Memang tak begitu penting, tetapi aku
hanya ingin tahu apakah aku sedang bermimpi atau tidak dan apakah aku sedang
berbicara dengan makhluk yang sama denganku atau berbeda?” sambil memiringkan
sudut bibirku.
“Baiklah-baiklah, tak perlu susah payah
untuk kau mencariku. Karena Kau adalah Aku dan Aku adalah Kau. Dimana kau
berada, disitupun aku berada, tetapi pikiran kita tak selalu sependapat.
Walaupun aku berada di tubuhmu. Suara yang sedang kau dengarkan saat ini adalah
suara hatimu sendiri.”
“Suara hatiku?”
“Dengarkan aku baik-baik, kau ingin
keluar dari tempat terkutuk ini bukan? Lalu kenapa kau tadi hanya bungkam saat
hakim menanyaimu?"
“Karena aku tahu, mereka tak akan
mempercayaiku, mereka hanya akan terus memaksaku untuk mengakui perbuatan yang
tak pernah jadi kehendakku. Mereka juga hanya mempercayai setan-setan yang
berkuasa itu.”
“Lalu, bukankan dengan kau tetap diam,
berarti kau menyetujui tuduhan mereka. Kau tak ada sedikitpun niat untuk
membela diri, membuktikan bahwa kau tidak bersalah. Padahal, dalam hatimu, kau
menampik semua tuduhan mereka. Kau ingin Tuhan menolongmu, tetapi dirimu
sendirilah yang menjebloskanmu dalam api kesengsaraan”
“Diam Kau! Kau tidak tahu bagaimana
perasaan dan posisiku pada saat itu!”
“Bagaimana Tuhan mau menolongmu jika kau
tak mau menolong dirimu sendiri? Mengusahakan dan membuktikan bahwa kau tidak
bersalah.”
“Kau tak tahu bagaimana perasaanku saat
itu. Begitu terpukul karena telah menghabisi nyawa seseorang. Naasnya, orang
itu adalah majikanku sendiri. Orang yang begitu menyayangiku dan selalu
menempatkanku di sisinya. Menemaninya dari dia belum jadi apa-apa, sampai Ia
sekarang telah menjadi koki terkenal seantero kota.”
“Aku begitu terpukul melihatnya sekarat
di tanganku sendiri. Mengapa takdir begitu kejam terhadapku. Dia mengirimkan
seseorang untuk selalu menemaniku tanpa meminta ganti apapun terhadapku, tetapi
aku baru sadar sekarang bahwa ada alasan bagi mereka tak mengajukan syarat
apapun untukku saat mengirimkan dia. Yaitu, agar Tuhan bebas mengambil
majikanku kapan saja dan dalam keadaan apapun. Bahkan saat aku merasakan puncak
kebahagian.” tambahku.
“Aku tahu kau begitu tenggelam dalam
kesedihan, aku pun bisa merasakannya. Karena aku adalah dirimu dan kau adalah
diriku. Namun, Kau tak bisa seenaknya menyalahkan takdir. Karena semua yang
berjalan di dunia ini telah ditakdirkan oleh-Nya. Sekarang yang bisa kau
lakukan adalah merubah pola pikirmu dan tak terus-menerus hanyut dalam kabut
hitam.”
“Dengan adanya kau disini juga bukan
merupakan akhir dari segalanya. Tuhan selalu tahu apa yang terbaik untuk
hamba-Nya. Bahkan, daun yang jatuh pun tak luput dari kehendak-Nya. Sekarang
yang lebih penting adalah caramu merubah pikiranmu sendiri, meyakinkan dirimu
untuk tetap kuat berdiri, menghadapi kenyataan”
“Kau bisa bicara seperti itu karena kau
tidak merasakannya. Kau juga hanyalah bagian dari diriku.” Kataku.
“Lalu apakah ini semua maumu? Melihat
mereka bahagia di atas semua penderitaanmu. Ingatlah, itu juga bukan merupakan
kesalahnmu, tetapi mereka. Terkadang, kita merasakan semua kesedihan dan
kesusahan juga bukan tanpa alasan. Semua masalah, cobaan, dan penderitaan akan
menjadikan kita orang yang jauh lebih kuat, lebih berani dari kita yang
sebelumnya. Semua hanyalah tentang masalah waktu. Lihatlah apakah kita bisa
melewati semua itu agar menjadi makhluk yang lebih baik lagi atau justru jatuh
dalam kesengsaraan.”
“Tak ada gading yang tak retak. Semua
pasti pernah melakukan kesalahan. Mungkin saja kau kemarin hanya berada di waktu
dan tempat yang salah. Sehingga kau terlibat dalam semua ini.”
“ Lihatlah pisau tua di ujung sana.”
Mataku mengarah pada sosok pisau tua
dengan karat yang memenuhi tubuhnya. Keadaannya
sungguh mengenaskan. Mungkin saja tinggal menunggu waktu sampai Sang Pencipta
mengambil nyawanya. Pikirku.
“ Kau akan sama sepertinya,
ditinggalkan, menua sendirian, sambil menunggu nyawa terpisah dari raga di
tempat yang sempit dan gelap ini. Jika kau tetap diam dan tak mau mengusahakan
kebebasanmu sendiri.”
“Tetapi dunia terlalu besar untuk ku
yang kecil ini.” Kataku.
“Itu hanya alasan dari orang yang ingin
mendapatkan keberhasilan secara instan tanpa mau berusaha”
“Kau akan rugi jika kau berhenti disini.
Hidup ini terlalu indah untuk ditinggalkan dan disia-siakan begitu saja.
Dengarkanlah kata hatimu. Kau mungkin tak bisa merubah semua isi dunia, tetapi
setidaknya ubahlah cara berpikir negatifmu dulu. Buat mereka tahu akan
keberadaanmu. Tak harus dengan kesuksesan yang besar, tetapi mulailah dulu
dengan sesuatu yang kecil. Contohnya buatlah mereka percaya dengan perkataanmu
dan ubahlah pikiran negatif mereka tentang masalah yang kau hadapi sekarang.
Percayakan mereka untuk melakukan investigasi ulang tentang musibah yang
menimpa tuanmu dan buktikan bahwa kau yang bukan membunuh mereka.”
“Tapi…”
“ Ini bukanlah waktunya untuk kau
mengeluh. Mereka tak akan menunggumu, tetapi kau lah yang harus mengejar
mereka. Renungkanlah semua perkataanku dan bertindaklah!”
Ruangan kembali hening
seketika. Tak ada suara siapapun lagi. Aku pun sekarang kalut dalam pikiranku
sendiri. Memikirkan apakah benar semua yang dia katakan. Aku pun tak ingin
terus berada di tempat kotor ini. Membayangkan mati sendirian ditemani
kegelapan pun sangat mengerikan. Aku juga masih ingin melihat fajar di pagi
hari dan senja di sore hari.
13 April 2021
N.A
Waww keren !! Semangat berkarya
ReplyDeleteMakasih kak☺️
DeleteKamu jugaa, semangat....