Skip to main content

Doa Sebilah Pisau Dapur

         Aku hanya bisa diam melihat dan menerima perlakuan mereka. Mereka yang terus menunjukku dengan telunjuk mereka. Memandang dengan tatapan marah. Seolah apa yang telah kuperbuat adalah luar biasa fatal. Menghakimiku atas apa yang terjadi. Padahal, aku melakukannya juga bukan atas kehendakku.

“Kau sungguh kejam! Bagaimana kau bisa melakukan hal itu pada seorang kakek yang tidak berdosa?” kata salah seorang yang melihat.

“Benar! Tidak adakah sedikit nurani dalam hatimu?” tambah yang lain.

“Sudah! Harap tenang semua!” kata hakim ketua.

“Tidakkah kau merasa bersalah atas apa yang telah kau lakukan?”

“Katakanlah sesuatu, barangkali itu bisa meringankan hukumanmu!” tambah hakim ketua.

Aku terus diam. Karena aku tahu, apapun yang keluar dari mulutku hanya dianggap lelucon oleh mereka. Aku hanya dijadikan alat untuk merenggut nyawa orang lain secara paksa. Namun, setelah semua itu terbongkar, mereka melimpahkan semua kesalahannya padaku. Masih lekat diingatanku. Bagaimana mereka menjadikanku alat dan menghujaninya menggunakanku. Aku menancap tepat di jantungnya. Darah hangat memancar keluar melumuriku. Begitu dekat, aku dengan jelas melihat kesediahan, kemarahan, dan dendam dalam sorot matanya dalam waktu yang bersamaan.

Aku tak tahu dia dendam terhadapku atau terhadap setan-setan yang memperalatku. Aku sadar, aku tak bisa melakukan apapun saat hal itu terjadi. Aku hanya bisa pasrah, merapalkan doa demi doa semoga Tuhan menunjukan keadilan terhadapku. Entah kapan Tuhan akan membongkar kejahatan mereka, aku hanya bisa menunggu. Aku adalah satu dari seribu korban lainnya. Terperangkap dalam ruangan gelap dan sempit, yahh dimana lagi jika bukan diasingkan dalam peti usang tua yang entah berapa usianya. Tergeletak dengan tumpukan pisau tua yang telah karatan dan tak mungkin dipakai lagi. Dilupakan dan tak diharapkan lagi. Aku memang tak begitu penting bagi mereka. Mereka merawatku saat mereka membutuhkanku, tetapi saat aku melakukan sedikit kesalahan tak butuh waktu lama bagi mereka untuk memusnahkanku. Begitu tragis nasib diriku ini.  

Aku menatap langit-langit yang hanya terlihat kegelapan di sana. Hening. Tak seorang pun membuka pembicaraan. Padahal, bisa dibilang, ruangan penuh sesak bercampur bau anyir tak terbantahkan. Mereka kalut dalam sesal dan kesedihan yang menyesakkan.

“Apakah kau tak merasakan hal yang sama, seperti mereka? Merasa terbuang dan dikucilkan?”

Aku menyisiri setiap sudut gelap itu dengan pandangan yang sedikit buram, mencari dari mana asalnya suara itu.

“Hei! Siapa yang berbicara itu? Cepat! Tampakkan dirimu!

Walau aku tak bisa melihat semua orang dengan jelas, tetapi aku tahu semua orang dalam ruangan itu tengah menatapku. Namun, tak sepatahkatapun terucap dari mulut mereka. Semuanya bungkam.

“Percuma kau meneriakiku untuk keluar, walau sampai pita suaramu terputus. Aku tak akan pernah terlihat olehmu dan mereka. Mereka pun tak bisa mendengar aku.”

“Lalu dimana kau? Mengapa hanya Aku yang bisa mendengarmu?” tanyaku.

“Tak usahlah kau mengetahui keberadaanku, lagipula untuk apa? Apa pentingnya untukmu.”

“Memang tak begitu penting, tetapi aku hanya ingin tahu apakah aku sedang bermimpi atau tidak dan apakah aku sedang berbicara dengan makhluk yang sama denganku atau berbeda?” sambil memiringkan sudut bibirku.

“Baiklah-baiklah, tak perlu susah payah untuk kau mencariku. Karena Kau adalah Aku dan Aku adalah Kau. Dimana kau berada, disitupun aku berada, tetapi pikiran kita tak selalu sependapat. Walaupun aku berada di tubuhmu. Suara yang sedang kau dengarkan saat ini adalah suara hatimu sendiri.”

“Suara hatiku?”

“Dengarkan aku baik-baik, kau ingin keluar dari tempat terkutuk ini bukan? Lalu kenapa kau tadi hanya bungkam saat hakim menanyaimu?"

“Karena aku tahu, mereka tak akan mempercayaiku, mereka hanya akan terus memaksaku untuk mengakui perbuatan yang tak pernah jadi kehendakku. Mereka juga hanya mempercayai setan-setan yang berkuasa itu.”

“Lalu, bukankan dengan kau tetap diam, berarti kau menyetujui tuduhan mereka. Kau tak ada sedikitpun niat untuk membela diri, membuktikan bahwa kau tidak bersalah. Padahal, dalam hatimu, kau menampik semua tuduhan mereka. Kau ingin Tuhan menolongmu, tetapi dirimu sendirilah yang menjebloskanmu dalam api kesengsaraan”

“Diam Kau! Kau tidak tahu bagaimana perasaan dan posisiku pada saat itu!”

“Bagaimana Tuhan mau menolongmu jika kau tak mau menolong dirimu sendiri? Mengusahakan dan membuktikan bahwa kau tidak bersalah.”

“Kau tak tahu bagaimana perasaanku saat itu. Begitu terpukul karena telah menghabisi nyawa seseorang. Naasnya, orang itu adalah majikanku sendiri. Orang yang begitu menyayangiku dan selalu menempatkanku di sisinya. Menemaninya dari dia belum jadi apa-apa, sampai Ia sekarang telah menjadi koki terkenal seantero kota.”

“Aku begitu terpukul melihatnya sekarat di tanganku sendiri. Mengapa takdir begitu kejam terhadapku. Dia mengirimkan seseorang untuk selalu menemaniku tanpa meminta ganti apapun terhadapku, tetapi aku baru sadar sekarang bahwa ada alasan bagi mereka tak mengajukan syarat apapun untukku saat mengirimkan dia. Yaitu, agar Tuhan bebas mengambil majikanku kapan saja dan dalam keadaan apapun. Bahkan saat aku merasakan puncak kebahagian.” tambahku.

“Aku tahu kau begitu tenggelam dalam kesedihan, aku pun bisa merasakannya. Karena aku adalah dirimu dan kau adalah diriku. Namun, Kau tak bisa seenaknya menyalahkan takdir. Karena semua yang berjalan di dunia ini telah ditakdirkan oleh-Nya. Sekarang yang bisa kau lakukan adalah merubah pola pikirmu dan tak terus-menerus hanyut dalam kabut hitam.”

“Dengan adanya kau disini juga bukan merupakan akhir dari segalanya. Tuhan selalu tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Bahkan, daun yang jatuh pun tak luput dari kehendak-Nya. Sekarang yang lebih penting adalah caramu merubah pikiranmu sendiri, meyakinkan dirimu untuk tetap kuat berdiri, menghadapi kenyataan”

“Kau bisa bicara seperti itu karena kau tidak merasakannya. Kau juga hanyalah bagian dari diriku.” Kataku.

“Lalu apakah ini semua maumu? Melihat mereka bahagia di atas semua penderitaanmu. Ingatlah, itu juga bukan merupakan kesalahnmu, tetapi mereka. Terkadang, kita merasakan semua kesedihan dan kesusahan juga bukan tanpa alasan. Semua masalah, cobaan, dan penderitaan akan menjadikan kita orang yang jauh lebih kuat, lebih berani dari kita yang sebelumnya. Semua hanyalah tentang masalah waktu. Lihatlah apakah kita bisa melewati semua itu agar menjadi makhluk yang lebih baik lagi atau justru jatuh dalam kesengsaraan.”

“Tak ada gading yang tak retak. Semua pasti pernah melakukan kesalahan. Mungkin saja kau kemarin hanya berada di waktu dan tempat yang salah. Sehingga kau terlibat dalam semua ini.”

“ Lihatlah pisau tua di ujung sana.”

Mataku mengarah pada sosok pisau tua dengan karat yang memenuhi tubuhnya. Keadaannya sungguh mengenaskan. Mungkin saja tinggal menunggu waktu sampai Sang Pencipta mengambil nyawanya. Pikirku.

“ Kau akan sama sepertinya, ditinggalkan, menua sendirian, sambil menunggu nyawa terpisah dari raga di tempat yang sempit dan gelap ini. Jika kau tetap diam dan tak mau mengusahakan kebebasanmu sendiri.”

“Tetapi dunia terlalu besar untuk ku yang kecil ini.” Kataku.

“Itu hanya alasan dari orang yang ingin mendapatkan keberhasilan secara instan tanpa mau berusaha”

“Kau akan rugi jika kau berhenti disini. Hidup ini terlalu indah untuk ditinggalkan dan disia-siakan begitu saja. Dengarkanlah kata hatimu. Kau mungkin tak bisa merubah semua isi dunia, tetapi setidaknya ubahlah cara berpikir negatifmu dulu. Buat mereka tahu akan keberadaanmu. Tak harus dengan kesuksesan yang besar, tetapi mulailah dulu dengan sesuatu yang kecil. Contohnya buatlah mereka percaya dengan perkataanmu dan ubahlah pikiran negatif mereka tentang masalah yang kau hadapi sekarang. Percayakan mereka untuk melakukan investigasi ulang tentang musibah yang menimpa tuanmu dan buktikan bahwa kau yang bukan membunuh mereka.”

“Tapi…”

“ Ini bukanlah waktunya untuk kau mengeluh. Mereka tak akan menunggumu, tetapi kau lah yang harus mengejar mereka. Renungkanlah semua perkataanku dan bertindaklah!”

Ruangan kembali hening seketika. Tak ada suara siapapun lagi. Aku pun sekarang kalut dalam pikiranku sendiri. Memikirkan apakah benar semua yang dia katakan. Aku pun tak ingin terus berada di tempat kotor ini. Membayangkan mati sendirian ditemani kegelapan pun sangat mengerikan. Aku juga masih ingin melihat fajar di pagi hari dan senja di sore hari.

 13 April 2021

N.A


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Keripik Bayam

          Dinginnya rembulan kian tergantikan dengan hangatnya mentari. Raja siang mulai   menampakkan wajahnya, tak satupun yang ada di dunia ini mampu menandingi keperkasaannya. Bau seperti belerang masih tercium di sana-sini. Tanah panas, yang tak diguyur hujan berhari-hari, kini mulai dingin kembali. Karena sang hujan bersedia mampir di desaku walau hanya sejenak. Namun cukup membuat kerisauan dalam hati mereda. Jangankan untuk mengairi sawah dan ladang, untuk mandi dan cuci saja kami masih kerepotan. Air yang tak seberapa, kami cukupkan untuk bertahan hidup. Kadang kala kami harus membeli hanya untuk membasahi kerongkongan yang kian mengering. Walau hanya sekali dalam sehari, kami cukupkan untuk mandi. Kesehatan dan kebersihan tetap menjadi prioritas. Tuhan selalu tahu kerisauan hamba-hamba-Nya. Sumur yang dibangun tiga tahun lalu secara swadaya, menjadi urat nadi di desaku saat musim kemarau tiba. Sungguh keberkahan bagi desa, karena air dala...

Catatan Kecil : Goresan Asa

#1 Jeritan yang tak pernah terdengar Menggema kian lantang Melantunkan letupan setiap luka Berusaha menyembunyikan dirinya sendiri? Namun luka itupun tak kunjung mengering Karena luka lama kian bertambah parah Ditumpuk oleh luka baru Naas   #2 Yang dianggap akhir tak melulu benar menjadi akhir Terkadang perspektiflah yang membuat suatu kekeliran Mungkin itu hanya penjelmaan awal dalam rupa akhir   #3 Tatkala menghadap refleksi di hadapan Kulihat sosok yang sama Tetapi sangat jarang ketemui Saat kutanya siapa Dia Dia malah mempertanyakan hal yang sama Lalu, Mana yang nyata Dia atau Aku? Tangan melambai, Dia mengikuti Kaki melangkah, Dia mengikuti Setiap pergerakanku, Dia mengikuti Kutatap lekat netranya Sama Satu kata yang terlintas dalam benakku #4 Bukan Putih atau Hitam Abu lebih memilih untuk berdiri sendiri Hal ini bukan tentang keegoisan ataupun ketidak percayadirian sebab tak mampu memutuskan kepada siapa Ia berp...