Skip to main content

Keripik Bayam


        Dinginnya rembulan kian tergantikan dengan hangatnya mentari. Raja siang mulai  menampakkan wajahnya, tak satupun yang ada di dunia ini mampu menandingi keperkasaannya. Bau seperti belerang masih tercium di sana-sini. Tanah panas, yang tak diguyur hujan berhari-hari, kini mulai dingin kembali. Karena sang hujan bersedia mampir di desaku walau hanya sejenak. Namun cukup membuat kerisauan dalam hati mereda. Jangankan untuk mengairi sawah dan ladang, untuk mandi dan cuci saja kami masih kerepotan.

Air yang tak seberapa, kami cukupkan untuk bertahan hidup. Kadang kala kami harus membeli hanya untuk membasahi kerongkongan yang kian mengering. Walau hanya sekali dalam sehari, kami cukupkan untuk mandi. Kesehatan dan kebersihan tetap menjadi prioritas. Tuhan selalu tahu kerisauan hamba-hamba-Nya. Sumur yang dibangun tiga tahun lalu secara swadaya, menjadi urat nadi di desaku saat musim kemarau tiba. Sungguh keberkahan bagi desa, karena air dalam sumur itu tak pernah mengering.

            Aku sangat bersyukur masih ada cukup air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Memang tidak mudah untuk mendapatkan air tersebut. Untuk mendapatkan air di pagi hari saja, aku harus mengantri sedari subuh. Jika terlambat sedikit, sangat mungkin jika aku tidak mendapatkan air. Mau dikata apa lagi, aku harus menuggu atau  kembali di sore hari agar bisa mendapatkan air. Karena memang sumurnya yang berada di pusat desa dan dikelilingi oleh lapangan luas, sehingga banyak warga yang dapat dengan mudah menjangkaunya. Selain itu, karena hanya di sumur ini para warga dapat mendapatkan air secara cuma-cuma dengan jumlah air yang dapat diambil juga tidak dibatasi. Tak ayal, kesempatan ini dimanfaatkan warga untuk menjual beberapa makanan kecil. Sebagai camilan untuk menunggu antrian air yang cukup panjang.

            Setiap sabtu dan minggu pagi, aku pasti di suruh oleh ibuku untuk  mengambil air di sumur, karena hari sabtu dan minggu aku libur sekolah. Jarak rumah kami yang tidak terlalu jauh, membuatku dapat menjangkaunya dengan berjalan kaki. Namun, pagi ini aku sedikit kesiangan karena aku tidur terlalu malam hanya untuk menonton acara kesukaan di televisi.

“Aku harus segera sampai di sumur. Tuhan, semoga saja airnya masih ada. Jika aku kembali tanpa membawa air, aku pasti dimahari oleh ibu.” Kataku dalam hati, sembari mempercepat langkah.

“Ramai sekali, aduhhh, bagaimana ini jika aku tidak kebagian air?” tanyaku sembari menerobos kerumunan. Banyak orang yang mengatakan bahwa tubuhku ini mungil, sehingga aku bisa dengan mudah menerobos antrian. Walaupun umurku sudah menginjak 18 tahun. Tetapi aku selalu mensyukurinya.

Lama aku berdiri, akhirnya kini giliranku untuk mengambil air dari sumur. Karena tanganku yang cukup mungil, aku kesulitan dalam meraih timbanya. Banyak orang yang melihat aku kesulitan seperti itu, namun tak seorangpun bersedia untuk membantu.

“Huff, susah sekali ini. Tuhan, tolong bantu aku.” Rengekku sambil terus berusaha untuk meraihnya.

Banyak air yang jatuh ke sekitar sumur, membuat permukaannya sedikit licin. Hampir saja aku jatuh ke dalam sumur. Sebelum seseorang berhasil menangkap tanganku dan menarikku menjauhi sumur. Dia juga mengambilkan air dan meletakkannya di ember yang aku bawa. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, ia langsung bergegas pergi begitu saja. Aku juga belum sempat mengucapkan terima kasih.

***

            Keesokan harinya, setelah menunaikan ibadah sholat Subuh, aku bergegas pergi ke sumur itu lagi. Tidak seperti kemarin, hari ini aku pergi ke sumur lebih awal. Benar saja, saat aku sampai di sana hanya sedikit orang yang sedang mengantri. Sebenarnya, mengambil air ini bukan menjadi alasan utamaku pergi lebih awal. Tetapi rasa penasaranku terhadap laki-laki misterius yang menolongku kemarin tidak dapat aku bendung. Laki-laki dengan kemeja rapih dan bersepatu, entah warna apa yang ia kenakan. Karena kemarin masih begitu remang-remang, apalagi aku lupa untuk membawa kacamataku sehingga aku kesulitan untuk melihat dengan jelas wajahnya. Tetapi aku hafal dengan aroma tubuhnya, aroma mawar.

“Kue-kue…,silahkan. Kripik-kripik……” Suara antara penjual kue dan penjual kripik membaur menjadi satu.

Berbagai kue ada di pasar kaget ini, dari kue tradisional seperti kue cucur sampai kue modern seperti kue brownis dapat dengan mudah kita temui di sini. Berbagai kripik yang terbuat dari sayur-sayuran sampai buah-buahan juga ada di sini. Tetapi aku merasa heran dengan para penjual makanan tersebut. Mengapa hanya anak-anak usia SD sampai SMA yang menjajakannya. Entah kebetulan atau bagaimana, tak seorangpun orang dewasa ada yang menjualnya.

“Silahkan dek, ambil kripik daun bayam ini”

“Tidak kak, terima kasih. Lagipula, aku juga tidak membawa uang” jawabku singkat.

“Kau tidak perlu membayarnya. Ini aku berikan percuma untukmu. Anggap saja hari ini adalah sabtu berkah untukmu”

“Baiklah, terima kasih. Aku juga sedikit lapar. Tetapi, aku akan membalas kebaikan kakak ini, aku tidak suka mempunyai hutang budi pada seseorang.”

Tanpa berkata-kata apapun lagi, laki-laki itu langsung pergi dan menghilang di kerumunan orang. Satu hal yang terlambat kusadari dari kakak yang memberiku keripik bayam tadi. Aroma tubuhnya sama dengan laki-laki yang menolongku kemarin. Apakah mereka orang yang sama? Pertanyaan itu terus berbutar di kepalakun memaksa untuk dijawab. Hari ini aku memang  gagal untuk bertemu dengan laki-laki penolong itu tetapi aku berjanji, minggu depan pasti aku dapat bertemu dengannya dan mengucapkan terima kasih langsung kepadanya.

***

            Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Seperti biasa, setelah sholat subuh aku langsung bergegas untuk menuju ke sumur membawa dua buah ember berukuran sedang di kedua tanganku. Sepanjang perjalanan, hatiku sangat teriris-iris melihat sampah berserakan dimana-mana. Berbekalkan pengetahuan yang aku peroleh di bangku sekolah, aku mengetahui bahwa sampah yang tidak dikelola dengan benar akan menimbulkan berbagai masalah di lain hari seperti banjir, berbagai penyakit, dan masalah lainnya.

Selain itu, banyaknya penebangan pohon yang tidak diimbangi dengan penanaman kembali memperparah keadaan di desaku. Saat musim hujan datang, tidak ada daerah resapan air yang dapat menampung air hujan sehingga mengalir begitu saja dan menyebabkan banjir. Banyaknya sampah yang ikut terbawa aliran banjir menimbulkan masalah yang tambah besar seperti berbagai penyakit.

Saat musim kemarau seperti sekarang ini, tidak ada yang dapat diperbuat banyak oleh warga desa. Semua sumur mereka kering, tak ada air yang dapat ditampung. Hanya sumur ini yang dapat mereka andalkan kerena memang keadaan sekitar sumur yang masih sangat asri. Tetapi ada kekhawatiran dalam diriku, aku takut jika nantinya daerah ini ikut merasakan pembangunan, beton di sana-sini, tanpa diimbangi dengan kepedulian terhadap lingkungan.

“Aku harus bisa bertemu dengan kakak penolong ataupun kakak penjual keripik kemarin. Aku harus mengungkap, sebenarnya siapa dia.”

“Aku akan tetap menunggunya di sini, aku akan menyelidiki siapa dia dan mau apa ia di desaku. Walaupun aku tidak mungkin hafal semua penduduk desa, tetapi aku tahu betul bahwa dia bukan orang asli desa ini. Aku takut dia akan berbuat jahat pada desaku.” Janjiku sambil mengepalkan tangan.

“Aroma ini?” tanyaku saat seseorang lewat didepanku.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengikutinya. Langkah kakinya membawaku sampai di sebuah rumah kecil di dekat sawah. Disana, aku melihat banyak anak-anak tengah memberikan uang pada laki-laki beraroma mawar itu.

“Hei!” teriakku pada laki-laki itu, sontak membuat semua mata tertuju padaku.

“Jangan dek! Itukan uang kalian, kenapa di kasih kepadanya. Ouhhh, jangan-jangan kamu pemungut liar yang memanfaatkan anak kecil untuk mencari uang ya, trus nanti uangnya kamu ambil semua? Iyakan,iya!” kataku sambil menunjuk-nunjuk wajah laki-laki itu.

“Maaf? tenang dulu mba, saya bisa menjelaskannya” kata laki-laki itu dengan suara lembutnya. Ia sedikit kebingungan.

“Mba, mba!. Memangnya saya mba kamu? Kamu gak usah bohong, saya sudah tahu semuanya. Saya bisa melihat tadi anak-anak ini memberikan uang kepadamu. Kamu menyuruh mereka untuk berjualan kan, itu merupakan pelanggaran HAM.” Sambil mengusap salah satu puncak kepala seorang anak.

“Tidak kak, kakak Farhan ini orang baik. Kakak salah!” kata salah satu anak yang membuatku tertegun.

“Lebih baik kamu duduk dulu, saya akan mnjelaskan semua.” Kata Farhan.

“Sebenarnya saya ini seorang mahasiswa yang sedang melakukan KKN di desa kamu ini. Saya sedang meneliti mengenai lingkunagan desamu ini. Saya cukup prihatin dengan sikap masyarakat desa yang kurang peduli terhadap lingkungan. Banyak orang yang membuang sampah sembarangan dan melakukan pembangunan disana-sini dengan membuka lahan baru tetapi tidak melakukan reboisasi.”

“Ouh, jadi seperti itu, maafkan saya kak. Saya benar-benar tidak tahu” sambil mempertihatkan gigi putihku.

“Lagian tempat tinggal kakak juga terpencil dan jauh dari pemukiman sih, bagaimana aku tidak curiga. Lalu, mengapa kakak menyuruh adik-adik ini untuk berjualan kripik bayam?”

“Aku hanya ingin membuktikan pada warga desa bahwa sayuran dapat menjadi peluang usaha yang cukup menjanjikan. Uang yang aku dapatkan dari itu aku gunakan untuk membeli bibit tanaman yang akan aku tanam di daerah yang gundul. Aku juga ingin menyadarkan para warga agar tidak membuang sampah sembarangan, karena bisa menimbulkan berbagai masalah. Sampah yang dibuang itu juga sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk membuat sebuah kerajinan.”

“Namun itu sangat sulit untuk dilakukan. Aku beberapa kali membujuk warga tetapi tidak berhasil”tambahnya.

“Betul, malah kakak mendapat makian dari warga. Mereka juga menganggap bahwa kakak hanya memanfaatkan kami untuk kepentingan pribadi” kata seorang anak.

“Siapa bilang sulit, aku juga ingin bergabung untuk membantu kakak. Bagaimana kalau minggu depan kita berkumpul lagi di sini. Aku mempunyai sebuah rencana” kataku.

***

            Hari ini aku ke tempat kak Farhan lagi. Tapi sebelum itu, aku tetap malaksanakan kebiasaan lamaku yaitu mengambil air. Aku kesana tanpa tangan hampa. Di kedua tangan ku ada beberapa barang yang akan aku perlihatkan pada Kak Farhan.

“Loh, kenapa tempat ini berantakan, dimana kak Farhan dan adik-adik yang lainnya?”tanyaku.

Tak beberapa lama, terdengar suara bentakan yang mengejutkanku. Aku langsung berlari kearah suara tersebut. Disana ku melihat kak Farhan sedang diberondong berbagai pertanyaan yang menanyakan keberadaanya di desa kami. Kak Farhan sudah berusaha menjelaskan seperti yang ia jelaskan kepadaku. Namun, warga tidak ada yang percaya dan menganggap bahwa kak Farhan hanya mengeksploitasi anak-anak.

“Hal itu tidak benar, aku akan membuktikan bahwa Kak Farhan adalah orang yang baik”sergahku.

“Ini buktinya, kak Farhan mengajari kami berbagai hal. Dia membuat kerajinan dari sampah yang tidak dapat didaur ulang yang ia kumpulkan bersama kami. Kak Farhan juga mengajari kami untuk menanam pohon baru di tempat yang bahkan bapak dan ibu tinggalkan. Ia juga membuat berbagai makanan dari hasil perkebunan dan pertanian bapak ibu. Kak Farhan benar-benar ingin memajukan desa ini. Ia tidak melakukannya hanya untuk menyelesaikan tugas kuliahnya”

“Kami tidak percaya, itu pasti hanya kata-kata manis yang hanya di mulut saja. Seperti yang pernah dilakuakan oleh orang yang sebelumnya datang ke desa ini.” Kata salah satu warga.

“Tidak, kak Frhan benar-benar orang yang sangat baik. Ia mengajariku untuk membaca dan menghitung. Aku sangat sayang dengan kak Farhan, jangan usir dia dari sini. Kami akan membuktikan bahwa kak Farhan adalah orang yang baik.” Kata salah satu anak.

“Baiklah kami akan mencoba untuk percaya. Tapi tolong libatkan kami dalam hal ini. Kami akan memantau pekerjaan nak Farhan” kata salah satu warga.

“Tentu saja ibu, bapak. Untuk yang pertama ayo kita menanam pohon di tempat yang gundul. Agar saat musim hujan tidak terjadi banjir dan saat musim kemarau seperti sekarang ini, tidak kekeringan”

“Baiklah ayo”

“Saya juga mempunyai ide! Bagaimana jika kita membuat perpustakaan keliling, bukunya bisa kita peroleh dengan membuka hibah buku. Setiap orang boleh menyumbangkan buku seikhlasnya. Karena buku merupakan jendela dunia. Literasi buku juga sangat penting dan dari buku kita bisa mengetahui bahkan menguasai isi dunia.” Kata Farhan.

Aku sungguh kagum dengan Kak Farhan. Dia tidak hanya mau memajukan desa ini tetapi ia juga mau mencerdaskan desa ini dengan mengadakan perpustakaan keliling, yang ia lakukan bersamaku dan anak-anak lainnya. Keadaan di desaku sekarang jauh lebih membaik. Semua warga mulai sadar akan pentingnya menjaga lingkungan. Aku juga berjanji akan membuat bangga Indonesia pada umumnya dan membuat bangga desaku pada khususnya.

2 Agustus 2020

N.A


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Doa Sebilah Pisau Dapur

            Aku hanya bisa diam melihat dan menerima perlakuan mereka. Mereka yang terus menunjukku dengan telunjuk mereka. Memandang dengan tatapan marah. Seolah apa yang telah kuperbuat adalah luar biasa fatal. Menghakimiku atas apa yang terjadi. Padahal, aku melakukannya juga bukan atas kehendakku. “Kau sungguh kejam! Bagaimana kau bisa melakukan hal itu pada seorang kakek yang tidak berdosa?” kata salah seorang yang melihat. “Benar! Tidak adakah sedikit nurani dalam hatimu?” tambah yang lain. “Sudah! Harap tenang semua!” kata hakim ketua. “Tidakkah kau merasa bersalah atas apa yang telah kau lakukan?” “Katakanlah sesuatu, barangkali itu bisa meringankan hukumanmu!” tambah hakim ketua. Aku terus diam. Karena aku tahu, apapun yang keluar dari mulutku hanya dianggap lelucon oleh mereka. Aku hanya dijadikan alat untuk merenggut nyawa orang lain secara paksa. Namun, setelah semua itu terbongkar, mereka melimpahkan semua kesalahannya padaku. ...

Catatan Kecil : Goresan Asa

#1 Jeritan yang tak pernah terdengar Menggema kian lantang Melantunkan letupan setiap luka Berusaha menyembunyikan dirinya sendiri? Namun luka itupun tak kunjung mengering Karena luka lama kian bertambah parah Ditumpuk oleh luka baru Naas   #2 Yang dianggap akhir tak melulu benar menjadi akhir Terkadang perspektiflah yang membuat suatu kekeliran Mungkin itu hanya penjelmaan awal dalam rupa akhir   #3 Tatkala menghadap refleksi di hadapan Kulihat sosok yang sama Tetapi sangat jarang ketemui Saat kutanya siapa Dia Dia malah mempertanyakan hal yang sama Lalu, Mana yang nyata Dia atau Aku? Tangan melambai, Dia mengikuti Kaki melangkah, Dia mengikuti Setiap pergerakanku, Dia mengikuti Kutatap lekat netranya Sama Satu kata yang terlintas dalam benakku #4 Bukan Putih atau Hitam Abu lebih memilih untuk berdiri sendiri Hal ini bukan tentang keegoisan ataupun ketidak percayadirian sebab tak mampu memutuskan kepada siapa Ia berp...