Pagi
yang indah dan cerah, secerah hati dan wajah Karan. Tak ada apapun atau
siapapun yang dapat membutnya menyerah akan keadaan. Dia kan terus berusaha
melawan penyakit yang dideritanya selama ini. Rasa sakit yang kian menjadi
sejalan dengan bertambahnya usia, tak membuatnya gentar, melainkan hal itu
menjadi dorongan dan semangat tuk terus maju dan mewujudkan semua cita-citanya.
Sudah 18 tahun Karan merasakan sakit yang kian menjadi. Semenjak dokter memvonisnya
mempunyai penyakit jantung yang lemah sejak lahir. Selama ini belum ada
pendonor yang mempunyai jantung yang cocok dengannya.
Kata
dokter, hidupnya tak akan lama lagi, itulah yang membuat kedua orang tuanya
cemas dan sedih. Namun, usia tidak ada seorangpun yang tahu, kecuali Tuhan Yang
Maha Kuasa. Keadannya dulu, memang tak separah sekarang. Namun, semangatnya
dari dulu sampai sekarang tak pernah berubah dan padam. Tuhan terus
memberikanya kehidupan dan semangat untuk melawan penyakitnya itu. Dia berfikir,
mungkin agar ia bisa terus memberikan senyuman pada orang-orang di sekitarnya.
“Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar
batas kemampuan hambanya. Janganlah menyerah dan hadapilah keadaan dengan
semangat, senyuman,dan doa” Begitulah kata-kata yang selalu Ia lontarkan
pada sahabat dan orang tuanya.
***
Angin
dingin menerpa kulit. Daun, ranting, dan dahan masih kerap meneteskan air. Bau
tanah kian tercium jelas. Matahari pun enggan muncul dari peraduannya. Namun, sorak sorai penonton tak henti-hentinya
menggema memenuhi ruangan untuk menyemangati jagoannya masing-masing.
“Tak
ada alasan untukku berhenti!”suara Karan sedikit membentak.
“Kenapa
kau sangat keras kepala! Aku hanya tak ingin melihatmu kenapa-napa. Lebih baik
kamu berhenti saja. Aku tak tega melihatmu kesakitan lagi.” kata Ayla.
“Tak
ada alasan bagiku untuk berhenti Ayla, mungkin karena ini Tuhan menciptakanku,
aku harus berusaha semaksimal mungkin.” Kata karan dengan suara lembutnya.
Karan
mendekati Ayla dan menggenggam tangannya. Barusaha menenangkan hatinya yang
mulai terbakar api amarah. Meredamkan biasan merah diwajahnya.
“Ini
bukanlah kali pertama aku memohon kepadamu. Aku akan terus melakukan hal ini
selama nafasku masih berhembus. Aku ingin membuat Bangsa ini bangga akan keberadaanku.
Aku memang bukanlah orang yang pintar, yang bisa membuat roket atapun jet
tempur untuk melindungi negara ini. Aku juga bukan orang yang kreatif yang bisa
membuat pintu kemana saja agar bisa membawa negeri ini ke tempat yang jauh akan
masalah. Hanya inilah yang bisa aku lakukan. Setidaknya aku tidak menjadi
sampah di negaraku sendiri dan tersapu oleh orang-orang asing yang hanya ingin
menggerogoti persatuan, kesatuan, sumber daya, dan semua yang ada di negeriku.
Setidaknya hanya untuk sekali ini saja, sebelum aku,…”
“Cukup
Karan,” Ayla menghentikan Karan, seakan tahu dengan apa yang akan ia katakan.
“Tetapi,
kau juga tidak bisa egois dan melupakan apa yang sedang kamu alami saat ini! Kau
juga tidak bisa egois dengan tidak memikirkan ayah, ibu dan aku. Aku hanya
ingin melindungimu! Aku tak ingin penyakit,…”
“Kenapa
kamu berhenti Ayla? Aku tahu apa yang sedang terjadi padaku. Tetapi ini
bukanlah akhir dari perjalanan hidupku. Aku tidak ingin melihat kehancuran
negeriku dari balik kaca rumah sakit tanpa melakukan apa-apa untuk
menyelamatkannya. Aku hanya ingin membanggakan negeri ini!”
“Bukankah
kau juga tahu, pengorbanan Jenderal Soedirman dalam mempertahankan Negara ini!
Beliau rela bergerilya untuk melawan penjajah. Padahal beliau tahu, bahwa
beliau sedang sakit parah sehingga harus ditandu. Saat ini kita tidak harus
lagi mengangkat senjata untuk melawan penjajah. Tetapi dengan hati, kekuatan,
tekad, dan kemampuan serta kemauan yang kita miliki kita bisa mengusir mereka
semua.”
“Come
on, Ayla. Percayalah”
Suara
peluit terdengar cukup keras memekakan setiap telinga yang mendengarnya.
Menandakan giliran Karan untuk memperlihatkan kelihaian dan keahliannya dalam
berenang, lompat gaya indah. Ia melompat dari ketinggian menuju kolam renang
yang cukup indah di bawah. Tepuk tangan dan sorak sorai pendukungnya sangat
jelas terdengar. Ia berhasil menunjukan keahliannya dan membuat semua mata
berbinar saat melihatnya. Sehingga membawanya ke babak final untuk menghadapi
dua lawannya dari Negara lain.
***
Perjuangan Karan belum usai. Iya harus berusaha
lagi untuk memenangkan perlombaan berikutnya. Saat yang sangat Ia tunggu-tunggu
pun datang.
" Kamu kenapa Karan? "
"Gak papa. Aku cuma agak nervous."
"Tapi, kenapa wajah kamu pucat. Lebih baik
kamu gak usah ngelanjutin perlombannya kami sudah sangat bangga sama kamu. Aku juga gak mau kamu kenapa-napa. "
"Udah Ayla! Aku gak papa. Kamu tenang aja.
" sambil menepis tangan Ayla dari bahunya.
Selanjutnya
kita akan melihat penampilan Dari Karan, Indonesia. Suara narator terdengar sampai
penjuru ruangan.
"Sudah ya. Kamu sekarang doakan aku aja.
"
Baru
tiga langkah Karan menjauhi Ayla, tiba-tiba sakit yang tak tertahankan
menyerang dadanya lagi. Sakit yang sangat amat menyesakkan dada. Sakit
ini….Karan begitu hafal dari mana asal sakit di dadanya itu. Jantungnya.
“Aahh!”
suara Karan membangunkan Ayla dari lamunannya.
“Kamu
kenapa Karan, apakah dadamu sakit lagi?” cemas Ayla, dengan sigap Ayla memegang
pundak karan agar ia tidak terjatuh dan mendudukannya di kursi.
Karan
tidak bisa berbohong lagi. Wajah pucat pasinya tidak bisa menutupi rasa yang
teramat sakit di dadanya. Kemudian Karan dibawa ke ruang kesehatan untuk
mendapatkan pertolongan pertama sebelum dibawa ke rumah sakit. Beberapa menit
kemudian Karan tersadar dari pingsannya. Seperti biasa, Ia memberontak dan
memaksa untuk melanjutkan perlombaan. Ayla sudah berkali-kali melarang, namun
Dia memang keras kepala.
“Biarkan
Karan pergi, Ayla” kata ibunya karan sambil memegang bahu Ayla.
“Tapi,
tante,,”
”Tidak,
Ayla…” Sambil menggelengkan kepalanya.
“
Kamu harus belajar untuk mempercayai Karan, Ayla, seperti yang kami lakukan.
Kamu harus percaya akan semangat dan tekadnya. Justru dengan dukungan kitalah,
Karan bisa bertahan sampai saat ini”
“Baik,
tante. Aku akan mempercayainya” kata Kayla sambil memalingkan wajahnya kearah
Karan.
“Percayalah
padaku, Ayla. Aku hanya ingin memberikan yang terbaik di sisa umurku ini dan
aku juga ingin dikenang sebagai Karan yang tidak pantang menyerah pada keadaan
apapun. Walaupun aku tahu bahwa aku memang sedikit keras kepala” kata Karan
sambil mengerlingkan matanya pada Ayla.
“Cukup
Karan. Tidak usah dilanjutkan. Berusahalah yang terbaik dan kembalilah kepadaku
sebagai Karan yang semangat seperti yang aku kenal. Aku akan menjadi tempat
selanjutnya untukmu pulang” kata Ayla sambil memperlihatkan senyum simpulnya.
Karan
bersiap melompat dari atas. Namun, tiba-tiba, sakit itu datang lagi. Sontak
Karan memegangi dada sebelah kirinya. Karan tidak langsung panik dan berusaha
untuk tetap tenang dan memberikan senyum terbaiknya. Akhirnya, Ia melompat
dengan gaya yang sangat indah dan mendarat di air dengan sempurna. Namun, saat
hendak keluar dari air, sakit itu datang begitu hebatnya dan membuatnya
kelelahan. Ayla yang melihat Karan
kesakitan dan hampir tenggelam segera lari ke kolam. Namun, bahunya segera
ditarik oleh ibu Karan. Agar ia tidak melompat ke dalam kolam dan
membiarkan petugas untuk menolongnya.
Rasa marah bercampur khawatir terlihat jelas di wajah Ayla dan keluarga Karan.
Semua pikiran buruk beradu menjadi satu. Rasa bersalah berkecamuk di hatinya. Apakah ini akhirnya, Karan? Itu yang
terus ditanyakan Ayla pada hatinya. Rasa takut akan kehilngan sahabat baiknya,
rasa sedih yang sangat menyesakkan, dan rasa bersalah yang menjatuhkan. Semua berkecamuk
di hatinya.
***
“Ayla!”
sebuah suara memanggil namanya.
Ayla tak menghiraukan panggilan dari sahabtanya
itu dan terus memperhatikan sekuntum bunga dandelion di genggamannya. Hingga Ia
tak sadar bahwa sahabatnya itu sekarang sudah duduk di sampingnya.
“Karan
selalu berkata, bagaimana ia akan dikenang setelah Ia meninggalkan dunia ini”
suara Ayla membuka pembicaraan.
“Tentu
saja, dia akan dikenang sebagai orang yang ceria dan tidak pernah menyerah.
Walupun penyakit sedang menggerogoti tubuhnya, ia tetap berusaha untuk
memenangkan perlombaan itu dan mangharumkan nama negeri ini”
“Tapi
akhirnya perjuangan itu memang tidak sia-sia bukan? Karan tetap memenangkan
perlombaan itu. Meski itu menjadi perlombaan terakhirnya.”
Tiba-tiba
wajah Ayla berubah menjadi mendung saat mendengar perkataan dari sahabatnya
itu.
“Sudahlah
kawan, setidaknya kamu harus bangga pada Karan karena ia telah membuktikan
bahwa Ia mampu dan bisa memenangkan perlobaan itu dan menyumbangkan hadiahnya
untuk membuat sarana dan prasarana untuk membangun balai pendidikan bagi
anak-anak yang kurang beruntung untuk bisa bersekolah.”
“Ikhlaskan
saja kepergian Karan agar ia juga bahagia di sana. Janganlah menghadapi kehidupan ini dengan amarah dan penyesalan. Namun,
hadapilah kehidupan ini dengan senyuman dan kebahagiaan. Itu yang dikatakan
Karan padamu bukan?”
Ayla
tersontak mendengar perkataan dari sahabatnya itu. Itu adalah kata-kata yang
sering Karan katakan pada saat Ayla mempunyai masalah dalam kehidupannya.
30 Juli 2020
N.A
Comments
Post a Comment