Hari
begitu cerah pagi itu. Matahari telah mengintip dari ufuk timur. Angin pagi bertiup di pepohonan. Gemercik air begitu indah terdengar di
telinga. Ayam berkokok bersahut-sahutan
sejak subuh tadi. Suasana di pedesaan sungguh sangat membuatku tenang. Jauh
dari suara kendaraan dan keramaian yang setiap hari berlalu lalang. Sungguh, benar-benar indah alam ciptaan
Tuhan. Aku juga terkadang heran, mengapa
manusia begitu tega untuk merusak alam. Seperti menebang pohon dan membuang
sampah sembarangan sesuai yang seenak yang mereka kehendaki. Padahal jika
kerusakan telah terjadi, mereka tidak mau disalahkan sedikitpun.
Hatiku
begitu perih mengetaui hal tersebut. Terkadang aku berfikir, bagaimana caranya
untuk mewujudkan keindahan dan kesejukan di kota metropolitan agar bisa seperti
desa yang sedang kusinggahi sekarang ini.
Tetapi, apa daya, aku sekarang hanyalah seorang anak berumur 14 tahun
yang masih duduk di bangku kelas 11 smp. Aku juga sering menyampaikan
aspirasiku ini kepada Ayah dan Ibuku. Namun, aku malah mendapatkan tanggapan
buruk dari kakak-kakakku. Mereka menganggap bahwa perkataanku ini hanyalah
ocean seorang anak kecil. Tetapi aku
tidak ambil pusing hal tersebut. Aku hanya harus terus meyakinkan diriku, bahwa
suatu saat nanti, aku akan bisa mewujudkan mimpi tersebut dan busa meriah
dunia.
Itulah
aku dan sebagian mimpi yang sangat ingin ku wujudkan. Perkenalkan, namaku
adalah Aisyah Nur Akbar. Aku adalah anak terakhir dari tiga bersaudara. Pada
liburan tahun ini, keluargaku memutuskan untuk berlibur di desa bibiku. Karena
kami sangat menginginkan untuk menikmati udara segar pedesaan dan jauh dari
hiruk pikuk kota metropolitan yang sangat sibuk serta tingkat polusinya yang
sangat tinggi. Aku juga sangat senang bisa kembali mengunjungi rumah bibi. Ini
adalah kali kedua aku berkunjung ke rumahnya. Terakhir kali aku kerumahnya
adalah saat aku berusia 10 tahun.
Pagi
ini, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian menyusuri jalan desa. Hal
ini kulakukan karena aku sangat kesal kepada saudara-saudaraku yang dibuk
dengan gadget mereka sendiri. Kekesalan Aisyah memuncak,membuatnya menendang
sebuah batu cukup besar, shingga membuat sebuah pit bunga yang digantung di
sebuah rumah pecah. Prang...
"Hah! Apa itu? " Asiyah begitu terkejut
mendengarnya.
"Bagaimana ini, apa yang harus ku perbuat?
" Asiyah bingung.
"Lebih baik aku lari saja lah. Tapi,...
"Keringat membasahi seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba ada seseorang memanggilku dari belakang. Awalnya, aku enggan
untuk menoleh karena takut dimarahi.
Tetapi, aku teringat pesan ibuku, bahwa aku harus selalu bertanggung
jawab atas semua perbuatan yang aku lakukan. Akhirnya aku memberanikan diri
untuk menoleh. Aku melihat seorang nenek tua tengah berdiri tegak dengan tongkat
di tangannya.
"Habislah aku, bagaimana ini? Apa yang akan
nenek itu perbuat padaku?" Dengan langkah berat, aku menghampirinya dan
berharap agar ia tidak memarahiku karena telah memecahkan sebuah pot di halaman
rumahnya.
"Apapun yang terjadi, aku harus memberanikan
diri untuk mengahadapinya"Batin Aisyah.
"Maafkan aku, nek. Aku benar-benar tudak
sengaja memecahkan pot bunga milikmu".
"Lihatlah nek, aku hanya mempunyai dua keping
kue kacang kesukaanku?" Samvil memberikan kue kacangnya kepada nenek.
"Tenang saja, nenek tidak marah kok. Lagi pula, kamu tidak sengaja bukan?"
Lalu aku disuruh untuk menunggu sambil bersandar di
depan rumahnya.
"Kenapa nenek lama sekali? Apa lebih baik aku
pulang saja ya? "
"Tapi, bagaimana jika nenek tadi, nanti malah
mencarimu ya? Lebih baik aku menunggu sedikit lebih lama ah!"
"Aduh, perutku lapar sekali. Jika saja kue
kacang tadi tidak aku berikan pada nenek. Pasti sekarang aku tidak akan
kelaparan seperti sekarang ini"eluh Asiyah.
Aku
memang sangat menyukai kue kacang sejak kecil. Menurutku, perpaduan manjanya
gula dengan gurunya kacang sangat pas jika disandingkan. Tak lama kemudian,
nenek keluar dengan membawa stoples penuh kue kacang dan dua gelas teh manis
hangat. Aku sangat terkejut akan hal itu. Aku heran, mengapa nenek sangat baik
kepadaku.
"Ayo! Makan kue ini dan minum tehnya. Udara
cukup dingin, teh ini bisa menghangatkan tubuhmu" ajak nenek.
"Terima kasih nek. Nenek baik
sekali"sambil mengambil kue kacang dan memakannya.
"Hmm, kue ini buatan nenek sendiri? enak
sekali. Bahkan ibuku saja belum pernah buat yang seenak ini" puji Aisyah.
"Kamu berlebihan nak. Nenek hanya membuat
seperti yang biasa orang lain buat"
"o iya, nek. Maafkan aku karena tadi aku telah
memecahkan pot bunga nenek. Aku benar-benar menyesal melakukan hal itu"
"Tidak apa-apa, lagi pula hanya potnya saja
yang pecah, nenek masih bisa memindahkan bunganya ke pot yang baru"
"Benarkah? Terima kasih,nek. Nenek baik sekali.
Ngomong-ngomong, bunga nenek banyak sekali? Nenek sangat pandai untuk merawatnya"
"iya, kau suka? "
"Tentu saja. Bunga-bungamu sangat cantik
nek"
Nenek
Fat. Begitulah sebutan warga desa kepada nenek Fatimah. Nenek Fatimah adalah
seorang nenek yang hidup sebatang kara di rumahnya yang berada di dekat
perbatasan desa.
"Nek, rumah sebesar ini mengapa sangat sepi
sekali? Apakah anak dan cucu nenektudak tunggal di dini?"tanyaku pada
nenek Fat.
"Hari sudah sore, lebih baik kamu pulang, nanti
kamu dicari oleh orang tuamu" kata nenek Fat, tanpa menghiraukan
pertanyaannya.
Lalu aku memutuskan untuk pulang saja. Karena hari
memang sudah sore. Aku tidak ingin membuat orang tuaku cemas. Tetapi, banyak
sekali pertanyaan diotakku yang sangat ingin kutanyakan pada nenek Fat.
***
Keesokan
harinya, aku memberanikan diri untuk berkunjung ke rumahnya. Dari kejauhan, aku
melihat nenek Fat tengah menyiram bunga-bunganya. Aku berharap hari ini bisa
mendapat jawaban dari pertanyaanku kemarin. Hingga membuatku tidak bisa tidur
semalaman.
"Aisyah! Ada apa kamu kesini lagi, nak. Apa ada
barngmu yang tertinggal kemarin? " sapa nenek Fat.
"Tudak nek, aku hanya ingin menemui nenek"
" Baiklah, kamu duduk saja di sana, nenek akan
membawakan sesuatu untukmu" sambil menunjuk suatu tempat di rumahnya.
" Ini sialahkan makan kuenya".
" Kue kacang lagi? Mengapa selalu kue kacang?
Sudahlah, aku tidak boleh berprasangka buruk dulu" batinku.
"Nek, bolehkah aku menanyakan satu hal
kepadamu?"
"tentu saja. Kamu ingin menanyakan apa
nak?" kata nenek Fat.
"Mengapa rumah nenek sangat sepi sekali? Cuman
anak dan cucu nenek?" kata Aisyah.
" Sebelum
nenek menjawab pertanyaan mi, nenek ingin menceritakan sesuatu
kepadamu".
"Cerita apa nek? "
Dulu,
ada seorang anak kecil berumur 14 tahun,sama seperti umurku sekarang. Dia
sangat baik dan pintar. Dia juga sangat mencintai lingkungan. Sampai-sampai ia
menanan berbagai macam tanaman bunga di halaman rumahnya. Ia bercerita dan
menuangkan segala kegelisahannya pada bunga-bunga itu. Karena dia sering
dikesampingkan oleh orang tuanya yang lebih mementingakan urusan pekerjaanya.
Tetapi, ia tidak pernah kecewa akan hal tersebut. Ia selalu berpikir bahwa itu
adalah hal yang wajar karena mereka sibuk bekerja untuk mensekolahkannya.
Walaupun dia tahu jika orang tuanya tidak pernah ada waktu untuknya meskipun
hanya untuk menemaninya bercerita.
"Jadi, kita tidak boleh marah ataupun benci
dengan orang tua ya nek? "
"Iya, kamu harus selalu menghormati kedua orang
tuamu. Jangan pernah menyakiti hati mereka ya... Karena itu merupakan perbuatan
dosa"
"Kepada kakak juga nek? "
"Iya, intinya semua orang. Baik yang lebih
dewasa maupun yang lebih muda dari kamu"
"Lalu apa yang harus aku lakukan nek, kemarin
aku sempat marah dengan kakak"
"Berarti kamu harus berbesar hati untuk meminta
maaf terlebih dahulu. Hal ini tidak berarti kamu yang salah. Terkadang perilaku
mengalah bukan berarti kalah. Ini sudah sore, lebih baik kamu pulang, nanti
ibumu mencari. "
"Baik, Nek"
***
Keesokan
harinya aku kembali datang keruma nenek lagi. Aku sangat penasaran bagaimana
kelanjutan kisah si anak itu. Dengan langkah tergesa-gesa aku segera menuju ke
rumahnya. Aku sudah berkali-kali mengetuk pintu rumahnya, namun tak terdengar
jawaban adapun.
"Apa aku masuk saja ya? Tapi itukan tidak
sopan"batin Aisyah.
"Lebih baik aku menunggu di dunia saja lah"
Dia menunggu sambil duduk di rerumputan depan rumah
nenek Fat. Tiba-tiba aku mendengar suara benda jatuh dari dalam. Dengan sedikit
berlari, aku masuk ke dalam rumah nenek dan menuju ke sumber suara.
"Banyak sekali kue ladangnya nek! "
"Isya? Sekak kapan kamu berdiri di sana? "
"Maaf,nek aku masuk begitu saja. Tadi aku
mendengar suara dari arah sini. Aku takut terjadi sesuatu dengan nenek. Jadi,
aku segera masuk"
"Ahh...tidak apa-apa Isya. Kamu ingin kue
kacang inikah. Ayo kita makan bersama di depan!"ajak nenek.
"O ya, ada apa kamu kemari? "
"Begini nek. Aku ingin mendengarkan lanjutan
dari cerita nenek kemarin. Aku penasaran bagaimana keadaan anak setelah
itu"
Nenek
lalu memberikan aku segelas teh hangat seperti biasa dan memberiku kue kacang. Kebiasaan
nenek ini membuat sedikit bingung. Setelah itu, nenek mulai bercerita lagi.
Anak itu ternyata juga menyukai kue kacang sepertiku. Hingga ia sering berlatih
membuat kue kacang sendiri. Ia memperlihatkan kenya pada ayah dan ibunya.
Namun, kedua orang tuanya hanya melirik sebentar tanpa menyentuhnya sedikitpun.
Sudah berkali-kali dia melakukan hal yang sama, namun berkali-kali juga dia
mendapatkan penolakan. Hal itu membuatnya cukup kecewa dan sedih. Hingga pernah
membuatnya berpikir untuk pergi dari rumah. Ia sudah cukup lelah dengan
kehidupan seperti itu. Ia ingin hidup normal seperti keluarga lainnya. Namun,
pengasuhnya selalu berhasil meyakinkannya agar tidak pergi.
"Lalu apa yang dia lakukan menanggapi perilaku
orang tuanya nek? "
"Ia tidak pernah membenci ataupun marah pada
orang tuanya. Ia malu mendoakan keselamatan orang tuanya. Hal itu juga tidak
pernah memudahkan rasa kasih sayangnya."
"Kamu juga harus mengambil hal baik dari
perilaku dia, Isya. Hari sudah sore, lebih baik kamu pulang dulu"
"Baik nek" jawab Aisyah.
***
Keesokan
harinya aku kembali ke rumah nenek Fat. Kali ini aku tidak melihat senyum ramah
di wajahnya. Kini yang terlihat hanyalah air mata yang terus mengalir di
matanya. Aku sangat tidak tega melihatnya seperti itu. Dia duduk bersumpah
sendirian di rumput halaman rumahnya. Mengetahui kedatanganku, nenek segera
menghapus air mata dari wajahnya.
"Nenek kenapa? "
"Nenek tidak apa-apa. Tadi mata nenek tidak
sengaja terkena debu sehingga berair. "
"Nenek jangan berbohong,tidak biasanya aku
melihat nenek seperti ini. Bukankah nenek telah menganggapnya sebagai cucu
nenek sendiri? Lalu mengapa nenek menyembunyikan hal ini dariku? "
"Tidak ada apa-apa, hanya saja...... "
Lalu
nenek melanjutkan kisah seorang anak kemarin. Dahulu, saat dia akan wisuda, dia
sangat mengharapkan kedatangan orang tuanya. Namun, apa yang diharapkannya
tidak pernah tercapai. Diapun menganggap hal itu sebagai hal yang biasa.
Mungkin orang tuanya sedang sibuk bekerja. Tidak disangka, setelah acara tersebut
ia pulang dan terlibat sebuah kecelakaan yang membuatnya harus dilarikan ke
rumah sakit. Tetapi, musibah ini tidak membutnya putus asa. Ia malah berfikir
bahwa hal itu dapat membuat hati kedua orang tuanya luluh dan lebih perhatian
padanya. Ternyata, tidak. Saat ia terbaring di rumah sakit, orang tuanya hanya
mengirimkan uang melalui pengasuhnya, tanpa sempat untuk menjenguknya. Hal ini
benar-benar membuat hatinya hancur. Dia sudah tidak bisa berpikir logis lagi.
Akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari rumah setelah ia pulang dari rumah
sakit. Dia berfikir bahwa orang tuanya sudah tidak peduli lagi padanya.
Pengasuhnya juga tidak bisa lagi menahan keinginannya itu. Dia menganggap bahwa
dirinya sudah dewasa dan bisa memulai hidupnya kembali.
"Lalu apa yang terjadi dengan kedua orang
tuanya nek? "
Orang tuanya sangat menyesal. Mereka terlambat
menyadari bahwa anaknya adalah harta yang paling berharga. Bahkan penyesalan
itu dibawa sampai ayahnya meninggal. Ayahnya belum sempat meminta maaf kepada
anak itu"
"Lalu, bagaimana dengan ibunya nek? "
"Ibunya terus menangisi keperluannya di setiap
hembusan nafasnya. Penyesalan terus merasuk ke dalam hatinya dikala ibu itu
mengingat masa lalunya. " kata nenek sambil melihat foto yang ada di
tangannya.
"Itu foto siapa nek? "
"Ini adalah foto anak nenek. Tapi sekarang dia
telah pergi jauh sejak sepuluh tahun yang lalu. Nenek juga tidak tahu
keberadaannya. Tapi, nenek masih menyimpan no teleponnya. Sebenarnya, ini juga
karena kesalahan nenek yang kurang perhatiaan padanya. "
"Nenek, bolehkah aku menanyakan satu hal?
"
"Tentu saja"
"Apakah kisah yang diceritakan oleh nenek
adalah anak nenek sendiri? Dan apakah ibu anak itu adalah nenek? "
Seketika air mata mengalir deras dari matanya. Ia
tidak bisa membendung kesedihannya. Aku yang sedari tadi duduk di sampingnya
hanya bisa terduduk lemas.
"Tapi, bukanlah terlalu dewasa bagi kalian
untuk terus menerus bertengkar? Mengapa nenek tidak menghubunginya saja. Aku
percaya, pasti anak nenek akan mau memaafkan kesalah yang mungkin pernah nenek
perbuat."
"Terima kasih nak, kamu memang masih muda.
Tetapi pemikiranmu yang dewasa dapat membuat hati siapapun luluh. Hatimu
sungguh mulia nak"
Keesokan harinya aku dan keluarga memutuskan untuk pulang ke rumah kami dan meniggalkan semua keindahan desa bibi ini. Saat di jalan, aku melihat ke arah rumah nenek Fatimah. Aku sangat senang melihatnya sedang memeluk erat anak dan cucunya. Aku sangat senang melihat hal tersebut. Aku percaya bahwa mereka pasti telah berbaikan. Akupunktur melambaikan tangan ke arahnya. Nenek menimpaliku dengan senyum ramahnya.
15 Desember 2018
N.A
Comments
Post a Comment