Skip to main content

Percaya


Tuuuttt....  Suara deru kereta kian terdengar jelas di telinga. Entah sudah seberapa sering aku melakukan hal ini. Tapi, kewajibanku akan dirimu tak akan pernah memudar termakan oleh waktu. Terkadang, akupun merasa takut jika apa yang dikatakan orang-orang itu benar. Bahwa kau telah meninggalkanku sendirian di sini untuk selamanya, dengan menitipkan harapan yang tak mungkin bisa terwujud. Dulu kau pernah melakukan hal yang sama. Pergi begitu lama. Namun, kau tetap menepati janjimu untuk kembali. Tetapi, kenapa sekarang tidak? Dimana janjI'm itu?

"Diya!! "panggil seseorang di belakangku.

"Ayo, Diya. Sekarang kau harus pulang. Hari sudah semakin larut. Nanti kau bisa sakit" kata Dimas, kakakku.

      Aku hanya diam dan menuruti semua perkataan kakakku itu. Tapi kesedihan dan air mata tidak bisa kubendung, setiap kali aku melangkahkan kaki meninggalkan stasiun itu. Membawa janji-janji yang pernah diucapkan olehnya.

"Diya, kau tidak bisa seperti ini terus-menerus. Ingatlah,bahwa Sai sudah meninggal! Kau harus bangkit dan melupakannya!" kata kak Dimas dengan nada sedikit tinggi.

"Tidak kak! Tidak! Aka tidak ingin mendengar hal itu lagi! Sampai jasadnya ada di hadapanku, aku tidak akan mendengarkan semua perkataanmu Kak! " kata Diya dengan nada sedikit membentak.

"Kau harus melupakan Sai, Kakak sudah berkali-kali meyakinkanmu bahwa Sai telah meninggal. Kau harus bangkit untuk memulai kehidupanmu yang baru. Kakak tidak ingin melihatmu terus -menerus begini!" sambil mengguncang tubuh Diya.

"Sadarlah, bahwa Sai telah berada di sisi Yang Maha Kuasa, karena kecelakaan kereta itu. Kau pun tahu, bahwa jasadnya tidak bisa ditemukan karena telah hangus oleh api" kata Dimas dengan suara tenangnya.

"Cukup Kak, cukup. Aku tidak ingin mendengarnya lagi" Seketika air keluar dari matanya dengan deras.

      Aku tidak bisa menerima kenyataan begitu saja kalau Sai telah meninggalkanku. Tidak sebelum Sai mengatakannya sendiri kepadaku. Dulu, Sai berjanji akan kembali kepadaku. Dia mengatakan bahwa Dia sangat mencintaiku dan dia juga berjanji akan kembali dan menghabiskan waktunya bersamaku.

Namun, semuanya hancur seketika saat kecelakaan itu merenggutnya dariku. Berita kematiannya benar-benar mengguncangku. Akan tetapi, hatiku terus meronta untuk tak meyakini kebenaran berita tersebut.

"Sudah cukup kau seperti ini dalam satu tahun terakhir. Kakak tidak ingin terus-menerus melihatmu seperti ini. Akankah kau tega melihat Sai tak tenang di alamnya karena melihat sikapmu yang seperti ini?"

"Sai juga ingin melihatmu bangkit dan memulai hidupmu yang baru tanpa dirinya. Tidak terus-menerus tenggelam dalam kesedihan seperti ini! "

"Kakak juga rindu akan senyummu. Hal yang sama pasti juga diinginkan oleh Sai "

"Maafkan aku Kak, tapi untuk saat ini aku tidak bisa. Aku masih membutuhkan waktu untuk sendiri "

      Lalu kak Dimas membenamkan kepalaku di pelukannya. Kak Dimas pun berusaha menenangkanku. Kak Dimas bisa membuatku nyaman dengan pelukannya. Akan tetapi, dia belum bisa membuat nyaman hatiku. Hatiku yang begitu terluka karena kepergiannya. Hanya stasiun inilah yang menjadi kenangan terindah bagiku. Karena di stasiun ini aku bertemu dengan Sai. Namun,secara diam-diam, stasiun ini juga menyimpan kesedihanku yang mendalam. Karena kepergiannya.

16 Desember 2018

N.A

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Keripik Bayam

          Dinginnya rembulan kian tergantikan dengan hangatnya mentari. Raja siang mulai   menampakkan wajahnya, tak satupun yang ada di dunia ini mampu menandingi keperkasaannya. Bau seperti belerang masih tercium di sana-sini. Tanah panas, yang tak diguyur hujan berhari-hari, kini mulai dingin kembali. Karena sang hujan bersedia mampir di desaku walau hanya sejenak. Namun cukup membuat kerisauan dalam hati mereda. Jangankan untuk mengairi sawah dan ladang, untuk mandi dan cuci saja kami masih kerepotan. Air yang tak seberapa, kami cukupkan untuk bertahan hidup. Kadang kala kami harus membeli hanya untuk membasahi kerongkongan yang kian mengering. Walau hanya sekali dalam sehari, kami cukupkan untuk mandi. Kesehatan dan kebersihan tetap menjadi prioritas. Tuhan selalu tahu kerisauan hamba-hamba-Nya. Sumur yang dibangun tiga tahun lalu secara swadaya, menjadi urat nadi di desaku saat musim kemarau tiba. Sungguh keberkahan bagi desa, karena air dala...

Doa Sebilah Pisau Dapur

            Aku hanya bisa diam melihat dan menerima perlakuan mereka. Mereka yang terus menunjukku dengan telunjuk mereka. Memandang dengan tatapan marah. Seolah apa yang telah kuperbuat adalah luar biasa fatal. Menghakimiku atas apa yang terjadi. Padahal, aku melakukannya juga bukan atas kehendakku. “Kau sungguh kejam! Bagaimana kau bisa melakukan hal itu pada seorang kakek yang tidak berdosa?” kata salah seorang yang melihat. “Benar! Tidak adakah sedikit nurani dalam hatimu?” tambah yang lain. “Sudah! Harap tenang semua!” kata hakim ketua. “Tidakkah kau merasa bersalah atas apa yang telah kau lakukan?” “Katakanlah sesuatu, barangkali itu bisa meringankan hukumanmu!” tambah hakim ketua. Aku terus diam. Karena aku tahu, apapun yang keluar dari mulutku hanya dianggap lelucon oleh mereka. Aku hanya dijadikan alat untuk merenggut nyawa orang lain secara paksa. Namun, setelah semua itu terbongkar, mereka melimpahkan semua kesalahannya padaku. ...

Catatan Kecil : Goresan Asa

#1 Jeritan yang tak pernah terdengar Menggema kian lantang Melantunkan letupan setiap luka Berusaha menyembunyikan dirinya sendiri? Namun luka itupun tak kunjung mengering Karena luka lama kian bertambah parah Ditumpuk oleh luka baru Naas   #2 Yang dianggap akhir tak melulu benar menjadi akhir Terkadang perspektiflah yang membuat suatu kekeliran Mungkin itu hanya penjelmaan awal dalam rupa akhir   #3 Tatkala menghadap refleksi di hadapan Kulihat sosok yang sama Tetapi sangat jarang ketemui Saat kutanya siapa Dia Dia malah mempertanyakan hal yang sama Lalu, Mana yang nyata Dia atau Aku? Tangan melambai, Dia mengikuti Kaki melangkah, Dia mengikuti Setiap pergerakanku, Dia mengikuti Kutatap lekat netranya Sama Satu kata yang terlintas dalam benakku #4 Bukan Putih atau Hitam Abu lebih memilih untuk berdiri sendiri Hal ini bukan tentang keegoisan ataupun ketidak percayadirian sebab tak mampu memutuskan kepada siapa Ia berp...