Rasa tersiksa kian mengikat diri terbelenggu dalam rengkuhan yang kelam. Cahaya pun enggan menatapku lagi, menyisakan bayang yang menjerit dalam diam. Hatiku—reruntuhan dari janji yang hancur, menyimpan abu dari cinta yang terbakar. Langkahku terseret di jalan retak, di mana harapan hanya gema tanpa arah. Aku tersenyum pada luka yang tak sembuh, menyambut sepi seperti sahabat lama. Sebab di balik setiap tangis yang rapuh, ada kenangan yang tak rela padam di dada. Dan kini, aku tak lagi mencari arti, sebab arti pun telah mati di matamu. Segalanya menjadi sunyi yang abadi, tempat aku dan bayangmu melebur tanpa waktu. Cinta ini bukan lagi doa—melainkan kutuk, yang menahan rohku di antara hidup dan lenyap. Jika surga adalah lupa, biarlah aku tinggal di neraka kenanganmu. Aku bukan lagi aku, hanya sisa dari nama yang pernah kau sebut dengan lembut. Dan setiap hembus napas yang tersisa, adalah peringatan bahwa mencintaimu adalah cara paling indah untuk binasa.
#1 Jeritan yang tak pernah terdengar Menggema kian lantang Melantunkan letupan setiap luka Berusaha menyembunyikan dirinya sendiri? Namun luka itupun tak kunjung mengering Karena luka lama kian bertambah parah Ditumpuk oleh luka baru Naas #2 Yang dianggap akhir tak melulu benar menjadi akhir Terkadang perspektiflah yang membuat suatu kekeliran Mungkin itu hanya penjelmaan awal dalam rupa akhir #3 Tatkala menghadap refleksi di hadapan Kulihat sosok yang sama Tetapi sangat jarang ketemui Saat kutanya siapa Dia Dia malah mempertanyakan hal yang sama Lalu, Mana yang nyata Dia atau Aku? Tangan melambai, Dia mengikuti Kaki melangkah, Dia mengikuti Setiap pergerakanku, Dia mengikuti Kutatap lekat netranya Sama Satu kata yang terlintas dalam benakku #4 Bukan Putih atau Hitam Abu lebih memilih untuk berdiri sendiri Hal ini bukan tentang keegoisan ataupun ketidak percayadirian sebab tak mampu memutuskan kepada siapa Ia berp...